“Allah memberi apa kamu butuhkan, bukan apa yang kamu
pinta” -Anonim-
Institut
Teknologi Bandung. Belum pernah terpikir sebelumnya aku dapat kuliah di kampus
favorit itu. Yang aku pikirkan saat masih kuliah di bangku D-3 hanyalah
melanjutkan study di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Aku bermimpi dapat
lanjut kuliah ke Unpad, UNS, atau UNJ. Namun, memang skenario Allah begitu
indah. Allah selalu memberi sesuatu yang terbaik dan dibutuhkan hamba-Nya.
Sekalipun hamba itu tak meminta.
Aku berangkat pukul 05.35 dari Ciheulang, Bandung. Jika naik angkot, jarak dari Ciheulang menuju Ganesha hanya butuh waktu sekitar 15 menit. Perkiraanku benar. Aku tiba di pintu belakang kampus ITB pukul 05.50. Turun dari angkot, aku berjalan santai sambil melihat-lihat kondisi sekitar. Gedung perpus, jembatan, pohon-pohon, dan Gedung Sekolah Bisnis Manajemen (SBM). Perasaan senang, syukur, dan santai masih menggelayutiku. Namun, perasaan itu hilang ketika aku masuk ke Gedung Kresna. Ternyata, Pak Stanley, motivator kami selama outbound, tengah bercerita didepan beberapa maba yang duduk membentuk setengah lingkaran. Aku langsung nimbrung. Beliau berkata, “Jika kalian berjanji untuk bertemu jam 6, sebisa mungkin kalian tiba lebih awal 30 menit. Tadi saya hanya melihat tiga orang yang tiba pukul segitu.” Aku diam. Aku baru paham ternyata kemarin Pak Stanley secara tersirat meminta kami untuk hadir pukul 05.30. “Kebiasaan yang harus aku terapkan mulai detik ini”, pikirku.
Bandung, 18 Oktober 2012
Suara alarm berdendang silih berganti. Suara yang
bersumber dari tiga handphone. Milikku, milik Kak Sheilla, dan milik Kak
Maulida. Kulirik layar di handphone Samsungku, pukul 04.30. Langsung
saja ucapan Pak Stanley kemarin kembali menghampiri ingatanku, “Besok kumpul di
Gedung SBM ITB pukul 6 pagi. Ingat jangan telat! Saya tidak menerima alasan
apapun.” Ingatan itu cukup ampuh membuatku sadar sepenuhnya dari mimpi. Kulihat
kedua kakakku telah bangun lebih dulu. Bahkan salah satu diantara mereka telah
selesai menunaikan Solat Tahajjud, dan satunya lagi sedang berkomat-kamit mengucap
dzikir. Aku yang sedang berhalangan, ikut membaca dzikir al-matsur’at. Berharap
pagi ini Allah berkenan melindungiku hingga sore tiba.
Aku berangkat pukul 05.35 dari Ciheulang, Bandung. Jika naik angkot, jarak dari Ciheulang menuju Ganesha hanya butuh waktu sekitar 15 menit. Perkiraanku benar. Aku tiba di pintu belakang kampus ITB pukul 05.50. Turun dari angkot, aku berjalan santai sambil melihat-lihat kondisi sekitar. Gedung perpus, jembatan, pohon-pohon, dan Gedung Sekolah Bisnis Manajemen (SBM). Perasaan senang, syukur, dan santai masih menggelayutiku. Namun, perasaan itu hilang ketika aku masuk ke Gedung Kresna. Ternyata, Pak Stanley, motivator kami selama outbound, tengah bercerita didepan beberapa maba yang duduk membentuk setengah lingkaran. Aku langsung nimbrung. Beliau berkata, “Jika kalian berjanji untuk bertemu jam 6, sebisa mungkin kalian tiba lebih awal 30 menit. Tadi saya hanya melihat tiga orang yang tiba pukul segitu.” Aku diam. Aku baru paham ternyata kemarin Pak Stanley secara tersirat meminta kami untuk hadir pukul 05.30. “Kebiasaan yang harus aku terapkan mulai detik ini”, pikirku.
Aktivitas pagi itu dimulai dengan materi berupa slideshow
powerpoint berisi motivasi. Motivasi untuk bergerak dengan cepat.
Motivasi untuk datang lebih awal dari waktu yang sudah dijanjikan. Motivasi
untuk terus berbuat baik dan berpikir positif. Motivasi untuk memaksimalkan
potensi diri. Materi yang disampaikan Pak Stanley cukup mudah aku cerna. Beliau
menyampaikan materi dengan memberi contoh cerita dan kisah nyata. Terkadang
Beliau menyelingi dengan memberi pertanyaan kepada kelompok. Mahasiswa baru D4
SBM ITB yang mengikuti outbound terdiri dari 27 orang. Ke-27 orang itu,
dibagi 4 kelompok oleh Pak Stanley, yaitu kelompok Matahari, Kuda, Kerbau, dan
Harimau. Aku masuk ke dalam kelompok Matahari yang berisi 7 anggota, yakni Aku
(Dwi), Aulia, Icha, Tami, Yusuf, Iman, dan Fauzan.
Selesai menyampaikan motivasi, Pak Stanley mengajukan
3 pertanyaan kepada semua kelompok. Beliau mengiming-imingi jika bisa menjawab,
akan diberi bintang pada papan score. Mulailah Pak Stanley menyampaikan
pertanyaan ke-1. “Kalau Ibu ini jadi lampu, kalian jadi apa?”. Banyak yang
mengangkat tangan selesai pertanyaan itu terucap. Mereka rata-rata menjawab,
“Jadi listrik, jadi cahaya, jadi orang yang nyalain, jadi pabriknya, dll.” Pak
Stanley membenarkan semua jawaban itu, tapi jawaban yang paling benar adalah
“Jadi heran! Masa Ibu ini bisa jadi lampu.” Semua yang hadir di situ tertawa,
merasa terhibur dengan jawaban barusan. Lanjut ke pertanyaan kedua. “Pada saat
yang bersamaan, sebuah mobil diganti ban depan dan ban belakangnya. Tapi,
kenapa ban belakang selalu lebih cepat botaknya dibanding ban depan?”. Yusuf
dari kelompokku menjawab, “Karena ban belakangnya second, Pak!”. “Bukan
itu jawabannya”, balas Pak Stanley. Alwin, anggota kelompok Kuda, Kakak kelasku
saat D-3 dulu, mengacung. “Ban belakang kebanyakan mikir Pak, kapan bisa
ngeduluin ban depan.” “Jawabannya benar! 3 bintang untuk kelompok Kuda.”
Kelompok Kuda pun langsung bersorak gembira.
Pertanyaan berikutnya kembali diajukan. “Ada satu
jembatan yang dijaga oleh dua orang. kedua orang itu tidur secara bersamaan
setiap lima menit, dan bangun lima menit. Untuk menyebrangi jembatan itu
dibutuhkan waktu lebih dari lima menit dan setiap yang ingin menyebrang harus
punya surat izin. Suatu saat ada satu orang yang ingin menyebrang, tapi ia tak
punya surat izin. Bagaimana cara agar ia bisa menyebrang?” Beberapa jawaban
sudah diajukan, tapi belum ada yang benar. Sampai pada jawaban yang diajukan
anggota kelompok Kerbau. Ia menjawab sambil memeragakan di depan, “Jalan mundur
aja pak, nanti kalau penjaganya bangun pasti ditanya, ‘mau kemana kamu? Surat
izinnya mana?’ Kalau gak ada pasti disuruh balik lagi.” “Jawabannya benar, 4
bintang untuk kelompok Kerbau.” Mendengar jawaban itu, aku teringat dengan
iklan permen mentos “mahasiswa yang telat masuk kelas”.
Sesi pertanyaan selesai, saatnya yel-yel tiap kelompok
diperlihatkan. Kelompokku menjadi kelompok dengan yel terbaik. Rasa senang
menghampiri kelompok kami. Spirit pun timbul untuk menjadi the best
kelompok. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Tugas kelompok
selanjutnya ialah berjualan pulpen dan buku. Tiap kelompok dibekali 18 pulpen
dan 10 buku untuk dijual dengan harga setinggi-tingginya. Aturan games-nya
adalah buku dan pulpen tidak boleh dibeli sendiri dan sampai oubound berakhir,
semua buku dan pulpen harus habis. Semua peserta segera ke luar ruangan dan
menjajakan dagangan ke orang-orang di lingkungan kampus ITB. Sebelum berjualan,
kelompok Matahari briefing terlebih dahulu untuk dibagi menjadi sub
kelompok. Tiga kelompok pun terbentuk. Aku, Iman, dan Aulia. Fauzan dan Tami.
Icha dan Yusuf. Kelompokku menjual ke arah Dago, kelompok Fauzan ke arah Masjid
Salman, dan kelompok Icha ke arah Tamansari kebun binatang. Kami berjanji untuk
kumpul di SBM pukul 12.00.
Aku, Iman, dan Aulia mulai menyisiri jalan Dago.
Setiap orang yang kami anggap ‘berduit’ kami hampiri untuk menawarkan buku dan
pulpen. Saat itu, ada rasa ragu dan malu untuk menawarkan dagangan ke konsumen.
Alhasil, karena rasa kurang PD itu, penolakan demi penolakan selalu menghampiri
kami. Tak beruntung di jalan Dago, ide untuk pergi ke Bandung Indah Plaza (BIP)
pun muncul. Kami beranggapan bahwa jika berjualan di mall (tempat ramai) maka
peluang barang terjual akan lebih besar. Namun, anggapan itu salah. Justru di
mall-lah kami lebih banyak mendapat penolakan dari orang. Frustasi. Kami pun
pulang dengan tangan hampa uang. Alih-alih terjual, kami malah rugi Rp18 ribu karena
ongkos angkot dan beli minum.
Pukul 11.50 waktu bagian SBM. Sampai di depan gedung
Kresna, aku, Iman, dan Aulia disambut oleh senyuman Icha dan Yusuf. “Gimana
jualan tadi?” tanyaku. “Alhamdulillah abis, buku seratus ribu, pulpen sepuluh
ribuan” jawab Icha dan Yusuf. Aku diam sambil tersenyum mendengarkan mereka
berdua menceritakan pengalamannya berjualan. Tak lama, Tami dan Fauzan datang.
“Gimana jualannya?” tanyaku lagi. “Alhamdulillah, buku kejual 500 ribu, pulpen
kejual 50 ribu.” Aku kaget, “gimana caranya mereka bisa jualan dengan mudah
seperti itu?” tanyaku dalam hati. Rupanya Icha, Yusuf, Tami, dan Fauzan
berjualan dengan modal rasa percaya diri. Tidak memilih orang untuk menawarkan
barang dagangan. Tidak takut gagal dan tidak takut ditolak orang. Ilmu bisnis
yang bisa aku ambil dari percakapan saat itu. Harus diterapkan dalam praktik
bisnis selanjutnya.
Selepas Solat Dzuhur dan makan siang, sesi kedua
berjualan dilanjutkan. Kelompok Matahari dibagi lagi menjadi dua kelompok.
Kelompok Aku, Tami, dan Iman. Kelompok Fauzan, Icha, Aulia, dan Yusuf. Aku
berjualan ke arah Sasana Budaya Ganesha (SABUGA) ITB. Ternyata sabuga mirip
seperti Gelanggang Olahraga (GOR) atau Gymnasium UI. Sambil berjalan, aku
memperhatikan gerak-gerik Tami. Puji Tri Utami nama panjangnya. Mahasiswa D3
metrologi ITB yang kemudian sekelas denganku di Program D4 Kewirausahaan SBM
ITB. Jalannya cepat dan penuh percaya diri. Saat berjalan dengannya, aku selalu
tertinggal dan harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk bisa menyusulnya. Aku
bisa paham dan menilai bahwa ia seorang yang gesit dan mampu menghargai waktu.
Tiba di Sabuga, kami menghampiri Bapak setengah baya yang sedang menggali
tanah. Kami pun menawarkan dagangan berupa buku dan pulpen. Tami menjadi juru
bicara kami. Ia menawarkan dagangan dengan lihai, memiliki kemampuan untuk
meyakinkan dan menghipnotis orang. Namun Bapak itu menolak untuk membeli,
terlihat dari raut mukanya ia tidak punya cukup uang untuk membeli buku dan
pulpen kami.
Tak menyerah, kami terus menelusuri jalan hingga ke
luar Sabuga. Ada pelajaran yang bisa kuambil dari kebersamaan aku dan Tami
dalam berdagang, yakni terus tersenyum dengan tulus ke semua orang, dan buat
calon pembeli nyaman dengan adanya kita. Ilmu itu kupraktikkan sepanjang jalan
kami berjualan. Hingga aku mendapat satu pembeli. Akang berbaju putih dan
celana batik. Duduk di warung kopi sambil membaca koran. Aku dan Iman
menghampirinya. Aku menjadi jubir, sesekali Iman menambahkan. Akang itu
bertanya berapa harga buku dan pulpennya. Kami jawab buku 500 ribu, pulpen 100
ribu. Harga yang fantastis! Akang itu menawar 100 ribu, kami pun mengiyakan.
Alhamdulillah first costumer bagiku. Rasa capek berjualan hilang
seketika saat dagangan kita laku. Semangat berjualan pun kembali meletup. Hari
pertama outbound, kelompok Matahari memperoleh penghasilan tertinggi,
yaitu Rp 1.552.000,-. Alhamdulillah…
Aku bangun lebih pagi, berangkat lebih pagi, dan tentu
tiba lebih pagi. Saat tiba di Gedung Kresna, Pak Stanley sedang bercengkerama
dengan asistennya. “Wah, awal yang baik”, pikirku. Sebelum memulai aktivitas
kami dipandu untuk berdoa terlebih dahulu. Memang benar, doa harus selalu
diutamakan dalam memulai segala aktivitas. Berharap yang kita lakukan menjadi
berkah, penuh dengan kebaikan. Pagi itu, kelompok Matahari berjumlah 6 orang
karena Aulia harus pulang ke Jakarta untuk urusan kantor. Kami diberi
pertanyaan oleh Pak Stanley untuk berdiskusi mengenai omzet, target pasar,
strategi marketing, dll. Hari ini, kegiatan kita dalam berjualan harus lebih
fokus dibanding sebelumnya.
Hasil diskusi yang kami lakukan, yakni menuju target
market pelajar SMA. Kami berencana menjual produk berupa pulpen, gantungan
kunci, dan pin dengan merek ITB. Namun, apa daya. Seluruh koperasi ITB saat itu
masih tutup. Terpaksa kami harus menjual pulpen Standard dan buku sisa
kemarin. Kami menuju SMAN 1 Bandung. Ternyata saat itu sedang pembagian rapor.
Lingkungan sekolah hanya ada wali murid, guru, dan segelintir siswa. Rencana
kami ubah kembali. Manusia hanya bisa berencana, tapi Allah-lah yang punya hak
untuk menentukan.
Saat itu kami dibagi lagi menjadi 3 kelompok. Aku dan
Fauzan. Tami. Icha dan Iman. Aku membawa buku 3 dan pulpen 2. Ilmu yang
kuperoleh kemarin aku pakai lagi. Penolakan memang selalu ada, tapi bagaimana
kita menyikapi penolakan itu. Apakah semakin semangat dalam berdagang? Atau
malah kendur dan menjadi lemah? Menilai apakan seseorang menjadi pemenang atau
menjadi pecundang dapat dibuktikan dengan ilmu ini.
Setelah sekian jam menjual dagangan dengan cara
berpencar, kami pun berkumpul kembali di halte SMAN 1 Bandung. Hasil uang yang
kelompok Matahari peroleh berjumlah Rp 700 ribu. Total uang yang kami peroleh
berjumlah 2 jutaan. Aku memeroleh ilmu yang sangat berharga dari pengalaman dua
hari berjualan. Ilmu positif thinking, ilmu berjiwa besar, ilmu semakin
merunduk, ilmu pantang menyerah, dan masih banyak lagi. Persis seperti pesan
dalam Al-Qur’an, Pak Stanley mengucapkan, “Tuhan tidak akan mengubah suatu
kaum, jika kaum itu tidak mengubah dirinya sendiri.” Rumus keberhasilan yang
Beliau sampaikan pun mirip seperti rumus iman, yakni percaya dengan sepenuh
hati, yakini dalam pikiran dan ucapan, lakukan dan teguhkan dalam perbuatan. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang entrepreneur sama dengan menjadi
seorang Muslim.
Bogor, 22 Oktober 2012. Pukul 00:46.
0 komentar:
Posting Komentar